PEJUANG.NET - Peneliti Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat menyoroti kebebasan berpendapat di Indonesia. Terlebih, ketika Polisi menggunakan pasal makar untuk beberapa kasus.
“Dalam sepuluh tahun terakhir, pasal makar hanya digunakan untuk aktivis pro kemerdekaan di papua. Tapi dua tahun terakhir sudah sampai Jakarta untuk mereka yang dianggap sebagai oposisi politik yang mengkritik pemerintah,” katanya kepada Kiblat.net di Kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta pada Selasa (25/06/2019).
Menurutnya, tindakan makar itu dulu pernah diuji di kelompok kerja PBB dikaitkan dengan penahanan sewenang-wenang. Dalam pengujian tersebut, Papang mengatakan bahwa PBB menganggap ekspresi poliitik yang tidak mengandung kekerasan harus dianggap kebebasan berekspresi.
“Jadi orang mengkritik Jokowi itu harus dianggap kebebasan perpendapat. Orang mengkritik tol lalu dianggap makar kan parah juga,” tuturnya.
Bagi kami, kata dia, tidak cukup orang hanya berbicara lalu dijerat pasal Makar. “Kalau gitu di Papua banyak sekali (yang ditangkap.red) karena sentimen anti Indonesia agak tinggi di sana,” tegas Papang.
Maka, jika Polisi ingin menjerat seseorang dengan pasal makar harus diuji. Apakah melibatkan unsur kekerasan atau tidak. Misalnya, lanjut Papang, dia beli senjata 1000 pucuk untuk menggulingkan kekuasaan.
“Oleh sebab itu, elemennya harus jelas yaitu melibatkan kekerasan. kalau di negara yang lebih tidak demokratis seperti kita misalnya Cina, mengkritik sekecil apapun kena,” pungkasnya.
Publis by : Pejuang.Net
Ikuti kami di channel Telegram : t.me/pejuangofficial
Facebook : https://www.facebook.com/pejuangofficial
Flow Twitter Kami: @PejuangNet
Sumber : kiblat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar