PEJUANG.NET - Semua mimpi demokrasi, di negeri manapun tidak mungkin bisa dicapai atau hanya dapat dicapai dengan cara melembagakan mimpi-mimpi itu ke dalam konstitusi dan hukum turunannya. Itu sebabnya demokrasi sering disama-maknakan dengan negara hukum, rule of law, dan konstitusionalisme. Itu sebabnya pula demokrasi dan rule of law sering disebut tercipta secara bersamaan.
Demokrasi, apapun yang hendak disodorkan untuk menandainya sebagai sebuah tata aturan kehidupan politik dan ekonomi yang hebat, dirindukan bukan karena lebih unggul dibandingkan totaliterisme dan sejenisnya. Kehebatan, bahkan dapat disebut keunggulannya ditandai oleh hanya satu- hal.
Hal itu adalah kemampuannya membuat orang-orang yang terpinggirkan dalam kehidupan politik dan ekonomi pada satu saat, bisa terus tertawa dan terus mempercayai demokrasi dan rule of law. Itu disebabkan demokrasi dan rule of law selalu memungkinkan mereka menjadi orang hebat kelak disuatu hari nanti.
Dari namanya yang sederhana, tetapi sangat ikonik, demokrasi menempatkan dijantungnya setiap manusia sebagai mahluk merdeka. Merdeka dalam konsep itu menunjuk pada serangkaian hak yang secara alami melekat pada setiap manusia. Hak itu, dalam bentuk yang paling awal dan tak pernah berubah hingga kini adalah hak memililiki barang.
Hak ini – memiliki barang – muncul menjadi isu utama demokrasi dan konstitusionalisme, karena dipercayai sebagai cara paling tepat dan tak tertandingi yang memungkinkan setiap orang secara mandiri dan bebas meningkatkan ragamnya dalam mengusahakan kesejahteraannya. Muncul sebagai gagasan oposisional terhadap feodalisme klasik yang bercorak totalitarian yang mencengkeram setiap orang, demokrasi menerima dalam nada imperative semua orang merdeka, punya hak untuk semua urusan.
Semua orang sama dalam semua spektrum struktur masyarakat dan negara sebagai asas hebat lain dalam demokrasi, tak terelakan, sama memukaunya dengan hak memiliki barang. Kombinasi hak ini dan hak memiliki barang yang diletakan dijantungnya, telah membuat demokrasi menjadi penanda paling hebat memanggil siapa saja untuk habis-habisan membela dan memperjuangkannya.
Demokrasi dengan prinsip-pinsip diatas, menariknya terus-menerus menghadapi tantangan dalam setiap upaya untuk merealisasikannya. Sering dicatat oleh sejumlah penulis yang mengambil contoh Amerika, negara yang menjadi agen terdepan dalam membongkar semua hambatan struktural atau sosial dan kultural yang menghalangi realisasi prinsip itu, dalam kenyataannya sering menemukan semua cara yang mungkin, yang sangat sering kontraproduktif.
Berat
Prinsip kesamaan status dan kesempatan yang dimana-mana disemua negara demokrasi dilembagakan dalam konstitusi, baik konstitusi yang terkodifikasi maupun yang tersebar dalam serangkaian undang-undang sebagai senjata terkokang bagi semua orang untuk berkompetisi dengan kadar yang sama, uniknya sering menghasilkan lingkungan sosial, politik dan ekonomi yang jauh dari sama, ya timpang. Itu menjadi soal besar.
Mengorganisasikan kekuasaan ke dalam tiga cabang – eksekutif, legislatif dan yudikatif- yang sedari awal dipercaya menjadi cara terbaik mencegah tirani dalam banyak aspek, seperti serign dilihat, hanya berhasil sebagian. Kelompok-kelompok kepentingan yang diasumsikan akan tersapu melalui pengorganisasian kekuasaan itu, dalam kenyataannya dapat secara leluasa menggunakan kekuasaan untuk keuntungan besar mereka.
Selalu seperti biasanya, dengan cara yang amat rumit kelompok-kelompok ini dapat mencegah distribusi dan redistribusi sumberdaya ekonomi dan politik. Selalu seperti itu kelompok-kelompok ini mengandalkan hukum dalam melegalkan semua yang mereka inginkan. Birokrasi yang dalam perspektif Weber merupakan institusi rasional karena menempatkan hukum sebagai pemandu utamanya, bekerja dengannya, nyatanya tetap tak cukup ampuh. Kelompok ini, layak dipertimbangkan, acap muncul menjadi entitas paling diskriminatif.
Jonathan R. Macey dan Geoffrey P. Miller dalam Cornel International Law Journal Vol.25, dibawah artikel berjudul The End of History and the New World Order: The Triumph of Capitalism and the Competition Between Liberalism and Democracy, menunjukan dengan jelas tampilan aktor-aktor ekonomi. Kelompok ditunuuk oleh keduanya, tidak hanya bekerja dibidang ekonomi, tetapi juga menggunakan energinya memasuki arena legislatif.
Pengejaran kepentingan oleh aktor-aktor ekonomi ini di arena legislatif, pada saat yang sama, begitu dideskripsikan leh kedua ahli hebat di atas menimbulkan akibat negatif. Akibatnya adalah terjadi pengurangan kesejahteraan masyarakat. Itu disebabkan kelompok-kelompok ini sebagaimana biasanya, di arena legislatif bekerja dengan keyakinan zero sum game.
Menyedihkan, demokrasi yang sedari awal mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam semua spektrum kehidupan, terutama dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan untuk penciptaan dan menyebarkan kesejahteraan rakyat, yang mengandalkan hukum sebagai sarana utamanya, justru berakhir dengan terkonsolidasinya sumberdaya ekonomi dan politik ke dalam lingkungan mereka. Tahu bahwa semakin banyak hukum diciptakan, semakin besar terciptanya ketidakpastian hukum, kelompok-kelompok ini selalu menyukai negara hukum.
Dengan hukum kelompok-kelompok ekonomi besar memompa pemikiran dan hasrat klasik mereka agar negara semakin menjauh, dalam makna tidak ikut mencampuri urusan kesejahteraan rakyat. Seperti tesis Adam Smith dengan Wealth of Nation-nya, kelompok ini menyukai dan terus mendorong negara aktif, dengan regulasi-regulasinya menciptakan lingkungan ekonomi yang bebas dari hambatan struktural.
Semakin aktif negara dengan regulasinya menghalau hambatan struktural, bahkan sosial dan kultural demi terciptanya pasar bebas, semakin bagus. Dimungkinkannya, sekadar sebagai salah satu contoh ringan, investor menguasai lahan dalam jumlah luas dengan jangka waktu hampir seabad merupakah hal terbaik dalam perspektif ini.
Tanah yang dikuasai oleh badan-badan administratif pemerintah dengan hak pengelolaan, HPL, yang belakangan ini diperdebatkan oleh anggota legislatif dan pemerintah dalam pembahasan rancangan UU Pertanahan. RUU ini memanggil gagasan menjadikan HPL sebagai obyek hak tanggungan, dapat dijaminkan ke Bank, tentu sebagai jaminan utang, harus dilihat dalam kerangka itu pula.
Bukan terburu-buru, tetapi gagasan menjadikan HPL sebagai obyek hak tanggungan beralasan dinilai sebagai cara mengalihkan secara sah kesejahteraan dan menumpukan kesejahteraan pada sekelompok kecil aktor ekonomi skala besar. Aktor ekonomi skala besar yang telah memiliki HGB di atas HPL, bisa bergembira ria dengan gagasan itu. Bila gagasan ini sukses dilembagakan, maka 1 % orang kaya Indonesia menguasa lebih dari 40% kekayaan nasional akan semakin bergembira dinegara demokrasi dan hukum ini.
Aktor ekonomi skala besar, yang dalam perspektif internasional sering disebut Trans National Corporation (TNC), dan Multi National Comporation (MNC), selalu begitu, sulit ditaklukan oleh negara. Acapkali begitu, kelompok ini malah, dengan cara yang rumit mengendalikan kebijakan negara. Kala tak berhasil, mereka terdepan menyuarakan ketidakadilan. Atas nama pasar bebas, yang didalamnya kompetisi – mantra hebatnya- segera disodorkan sebagai senjata memukul setiap regulasi yang menghalangi mereka.
Oleh : DR Margarito Kamis, Staf Pengajar FH. Univ Khairun Ternate
Publis by : Pejuang.Net
Ikuti kami di channel Telegram : t.me/pejuangofficial
Facebook : https://www.facebook.com/pejuangofficial
Flow Twitter Kami: @PejuangNet (rol)
Demokrasi, apapun yang hendak disodorkan untuk menandainya sebagai sebuah tata aturan kehidupan politik dan ekonomi yang hebat, dirindukan bukan karena lebih unggul dibandingkan totaliterisme dan sejenisnya. Kehebatan, bahkan dapat disebut keunggulannya ditandai oleh hanya satu- hal.
Hal itu adalah kemampuannya membuat orang-orang yang terpinggirkan dalam kehidupan politik dan ekonomi pada satu saat, bisa terus tertawa dan terus mempercayai demokrasi dan rule of law. Itu disebabkan demokrasi dan rule of law selalu memungkinkan mereka menjadi orang hebat kelak disuatu hari nanti.
Dari namanya yang sederhana, tetapi sangat ikonik, demokrasi menempatkan dijantungnya setiap manusia sebagai mahluk merdeka. Merdeka dalam konsep itu menunjuk pada serangkaian hak yang secara alami melekat pada setiap manusia. Hak itu, dalam bentuk yang paling awal dan tak pernah berubah hingga kini adalah hak memililiki barang.
Hak ini – memiliki barang – muncul menjadi isu utama demokrasi dan konstitusionalisme, karena dipercayai sebagai cara paling tepat dan tak tertandingi yang memungkinkan setiap orang secara mandiri dan bebas meningkatkan ragamnya dalam mengusahakan kesejahteraannya. Muncul sebagai gagasan oposisional terhadap feodalisme klasik yang bercorak totalitarian yang mencengkeram setiap orang, demokrasi menerima dalam nada imperative semua orang merdeka, punya hak untuk semua urusan.
Semua orang sama dalam semua spektrum struktur masyarakat dan negara sebagai asas hebat lain dalam demokrasi, tak terelakan, sama memukaunya dengan hak memiliki barang. Kombinasi hak ini dan hak memiliki barang yang diletakan dijantungnya, telah membuat demokrasi menjadi penanda paling hebat memanggil siapa saja untuk habis-habisan membela dan memperjuangkannya.
Demokrasi dengan prinsip-pinsip diatas, menariknya terus-menerus menghadapi tantangan dalam setiap upaya untuk merealisasikannya. Sering dicatat oleh sejumlah penulis yang mengambil contoh Amerika, negara yang menjadi agen terdepan dalam membongkar semua hambatan struktural atau sosial dan kultural yang menghalangi realisasi prinsip itu, dalam kenyataannya sering menemukan semua cara yang mungkin, yang sangat sering kontraproduktif.
Berat
Prinsip kesamaan status dan kesempatan yang dimana-mana disemua negara demokrasi dilembagakan dalam konstitusi, baik konstitusi yang terkodifikasi maupun yang tersebar dalam serangkaian undang-undang sebagai senjata terkokang bagi semua orang untuk berkompetisi dengan kadar yang sama, uniknya sering menghasilkan lingkungan sosial, politik dan ekonomi yang jauh dari sama, ya timpang. Itu menjadi soal besar.
Mengorganisasikan kekuasaan ke dalam tiga cabang – eksekutif, legislatif dan yudikatif- yang sedari awal dipercaya menjadi cara terbaik mencegah tirani dalam banyak aspek, seperti serign dilihat, hanya berhasil sebagian. Kelompok-kelompok kepentingan yang diasumsikan akan tersapu melalui pengorganisasian kekuasaan itu, dalam kenyataannya dapat secara leluasa menggunakan kekuasaan untuk keuntungan besar mereka.
Selalu seperti biasanya, dengan cara yang amat rumit kelompok-kelompok ini dapat mencegah distribusi dan redistribusi sumberdaya ekonomi dan politik. Selalu seperti itu kelompok-kelompok ini mengandalkan hukum dalam melegalkan semua yang mereka inginkan. Birokrasi yang dalam perspektif Weber merupakan institusi rasional karena menempatkan hukum sebagai pemandu utamanya, bekerja dengannya, nyatanya tetap tak cukup ampuh. Kelompok ini, layak dipertimbangkan, acap muncul menjadi entitas paling diskriminatif.
Jonathan R. Macey dan Geoffrey P. Miller dalam Cornel International Law Journal Vol.25, dibawah artikel berjudul The End of History and the New World Order: The Triumph of Capitalism and the Competition Between Liberalism and Democracy, menunjukan dengan jelas tampilan aktor-aktor ekonomi. Kelompok ditunuuk oleh keduanya, tidak hanya bekerja dibidang ekonomi, tetapi juga menggunakan energinya memasuki arena legislatif.
Pengejaran kepentingan oleh aktor-aktor ekonomi ini di arena legislatif, pada saat yang sama, begitu dideskripsikan leh kedua ahli hebat di atas menimbulkan akibat negatif. Akibatnya adalah terjadi pengurangan kesejahteraan masyarakat. Itu disebabkan kelompok-kelompok ini sebagaimana biasanya, di arena legislatif bekerja dengan keyakinan zero sum game.
Menyedihkan, demokrasi yang sedari awal mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam semua spektrum kehidupan, terutama dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan untuk penciptaan dan menyebarkan kesejahteraan rakyat, yang mengandalkan hukum sebagai sarana utamanya, justru berakhir dengan terkonsolidasinya sumberdaya ekonomi dan politik ke dalam lingkungan mereka. Tahu bahwa semakin banyak hukum diciptakan, semakin besar terciptanya ketidakpastian hukum, kelompok-kelompok ini selalu menyukai negara hukum.
Dengan hukum kelompok-kelompok ekonomi besar memompa pemikiran dan hasrat klasik mereka agar negara semakin menjauh, dalam makna tidak ikut mencampuri urusan kesejahteraan rakyat. Seperti tesis Adam Smith dengan Wealth of Nation-nya, kelompok ini menyukai dan terus mendorong negara aktif, dengan regulasi-regulasinya menciptakan lingkungan ekonomi yang bebas dari hambatan struktural.
Semakin aktif negara dengan regulasinya menghalau hambatan struktural, bahkan sosial dan kultural demi terciptanya pasar bebas, semakin bagus. Dimungkinkannya, sekadar sebagai salah satu contoh ringan, investor menguasai lahan dalam jumlah luas dengan jangka waktu hampir seabad merupakah hal terbaik dalam perspektif ini.
Tanah yang dikuasai oleh badan-badan administratif pemerintah dengan hak pengelolaan, HPL, yang belakangan ini diperdebatkan oleh anggota legislatif dan pemerintah dalam pembahasan rancangan UU Pertanahan. RUU ini memanggil gagasan menjadikan HPL sebagai obyek hak tanggungan, dapat dijaminkan ke Bank, tentu sebagai jaminan utang, harus dilihat dalam kerangka itu pula.
Bukan terburu-buru, tetapi gagasan menjadikan HPL sebagai obyek hak tanggungan beralasan dinilai sebagai cara mengalihkan secara sah kesejahteraan dan menumpukan kesejahteraan pada sekelompok kecil aktor ekonomi skala besar. Aktor ekonomi skala besar yang telah memiliki HGB di atas HPL, bisa bergembira ria dengan gagasan itu. Bila gagasan ini sukses dilembagakan, maka 1 % orang kaya Indonesia menguasa lebih dari 40% kekayaan nasional akan semakin bergembira dinegara demokrasi dan hukum ini.
Aktor ekonomi skala besar, yang dalam perspektif internasional sering disebut Trans National Corporation (TNC), dan Multi National Comporation (MNC), selalu begitu, sulit ditaklukan oleh negara. Acapkali begitu, kelompok ini malah, dengan cara yang rumit mengendalikan kebijakan negara. Kala tak berhasil, mereka terdepan menyuarakan ketidakadilan. Atas nama pasar bebas, yang didalamnya kompetisi – mantra hebatnya- segera disodorkan sebagai senjata memukul setiap regulasi yang menghalangi mereka.
Oleh : DR Margarito Kamis, Staf Pengajar FH. Univ Khairun Ternate
Publis by : Pejuang.Net
Ikuti kami di channel Telegram : t.me/pejuangofficial
Facebook : https://www.facebook.com/pejuangofficial
Flow Twitter Kami: @PejuangNet (rol)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar