Rekam Jejak Tentara di Kementerian Agama - Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Situs Islam Rujukan

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Kamis, 24 Oktober 2019

Rekam Jejak Tentara di Kementerian Agama


GELORA.CO - Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU Robikin Emhas mengklaim banyak kiai protes karena Presiden Joko Widodo memilih Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Para kiai, kata Robikin, tak bisa mengerti cara pikir Jokowi yang memilih menag bukan dari kalangan agamawan, melainkan militer.

Lantas, siapa sebenarnya sosok Jenderal Fachrul? Bukankah di masa lalu pernah ada dua jenderal yang menjadi Menteri Agama dan cukup berhasil?

Fachrul adalah Pengurus Besar Matlaul Anwar, organisasi yang dibentuk para kiai di Banten pada 10 Juli 1916. Jadi, mantan wakil panglima TNI itu itu masih Islam, Sunni, Syafi'I, dan Aceh!

Dalam sejarahnya, pos Kementerian Agama pernah diisi tokoh dari Muhammadiyah, Masyumi, juga tentara. Pada 1978, Presiden Soeharto menunjuk Letjen Alamsjah Ratu Prawiranegara sebagai Menteri Agama. Sebelumnya Alamsyah pernah menjadi Sekretaris Negara, Duta Besar di Belanda, 1972-1975, dan anggota Dewan Pertimbangan Agung, 1975-1977.

Karena merasa bukan kiai, ia sempat mempertanyakan keputusan Soeharto tersebut. Tapi Soeharto menjawabnya dengan menjelaskan salah satu tugas utamanya sebagai Menag adalah, menjelaskan kepada umat beragama, umat Islam khususnya, mengenai Pancasila.

"Agar mereka tidak lagi bersikap apriori. Selama ini Pancasila [seolah] tidak jelas bagi umat Islam...," tulis Alamsyah dalam autobiografinya, Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu terbitan 1995.

Alamsyah lalu menerjemahkan tugas itu dengan berkeliling pesantren. Dia menjelaskan bahwa Pancasila adalah buah karya dan hadiah umat islam kepada bangsa Indonesia. Salah satu tokoh yang berperan dalam perumusan Pancasila adalah dari NU, Kiai Haji Wachid Hasjim. Juga ada tokoh dari Muhammadiyah, yakni Ki Bagus Hadikusumo.

"Orang yang mengatakan Pancasila itu haram, bertentangan dengan Islam, orang-orang itu semua adalah bodoh, orang yang tidak mengerti sejarah," cetus Alamsyah.

Penjelasannya ini yang membuat Kiai Haji As'ad Samsul Arifin dari Situbondo kemudian menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Juga Muktamar Muhammadiyah pada 1984 di Solo menetapkan Pancasila sebagai azas organisasi.

Tugas lainnya adalah soal aliran kepercayaaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kala itu ada keresahan seolah aliran kepercayaan menjadi agama tersendiri selain Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Salah satu indikasinya, aliran ini juga mendapatkan slot acara tersendiri di TVRI.

Tapi saat menghadap Soeharto, dia langsung mendapatkan jawaban tegas yang menentramkan. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah semacam kebudayaan. Jadi bukan masalah atau persoalan keagamaan, karena merupakan bagian dari kebudayaan. Tempatnya adalah di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam cabinet 1993-1998, Soeharto kembali mengangkat figur berlatar tentara sebagai Menteri Agama. Kali ini Tarmizi Taher, seorang dokter sekaligus Laksamana Muda TNI Angkatan Laut.

Di masa kepemimpinannya, Tarmizi membuat dua terobosan srategis terkait penyelenggaran ibadah haji. Dia mencetuskan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dan pembentukan Dana Abadi Umat.

Bagaimana dengan Fachrul? Saat mengumumkan susunan kabinet, Presiden Jokowi menyebut setidaknya ada empat tugas utama menteri agama, yakni penanggulangan radikalisme, ekonomi umat, industri halal, dan haji.

Berkaca dari rekam jejak Alamsyah dan Tarmizi, jenderal menjadi menteri agama tidak masalah. Why not? Pokoknya dia mengedepankan ajaran agama yang moderat, dan tentunya tidak korupsi. Baik untuk pribadi maupun sekedar menguntungkan kelompok asalnya.[dtk]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad