Catatan Ekonomi RI 2019: Penerimaan Loyo hingga Bunga Utang Bengkak - Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Situs Islam Rujukan

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Minggu, 22 Desember 2019

Catatan Ekonomi RI 2019: Penerimaan Loyo hingga Bunga Utang Bengkak


GELORA.CO - Resesi ekonomi global sudah di depan mata. Pertumbuhan ekonomi global pada tutup tahun ini pun diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 3%. Artinya terjadi kemerosotan dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang mampu tumbuh 3,6%.

Demikian yang dicatatkan oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) lewat laporan tahunnya yang rilis pada 15 Oktober 2019 silam.

Lebih dalam IMF memaparkan bahwa kelesuan ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi negara-negara maju semakin melembek bahkan diproyeksikan akan berada di level 1,7% di tahun ini dan tahun depan.

Sementara untuk negara berkembang juga terpangkas ke 3,9% di 2019 setelah pada 2018 mampu tumbuh 4,5%.

Lantas, bagaimana kelesuan ekonomi global ini berdampak terhadap perekonomian Indonesia?

Sementara untuk negara berkembang juga terpangkas ke 3,9% di 2019 setelah pada 2018 mampu tumbuh 4,5%.

Lantas, bagaimana kelesuan ekonomi global ini berdampak terhadap perekonomian Indonesia?

1. Pertumbuhan Ekonomi RI Stagnan

Lembaga penelitian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 ini akan mengalami stagnansi di kisaran 5%.

Dalam catatan akhir tahun yang ditulis oleh ekonom perempuan Indef Aviliani, Eisha Maghfiruha Rachbini, dan Esther Sri Astuti, penyebab melempemnya pertumbuhan ekonomi tahun ini sebab pendapatan negara yang masih bertumpu pada konsumsi.


"Ditambah lagi, ekspor Indonesia masih terkendala dengan penurunan harga komoditas dan dampak perang dagang," terang Indef yang dikutip pada Sabtu (21/12/2019).

Investasi di Indonesia juga tercatat bakal mengalami perlambatan yang signifikan mulai kuartal III-2019 ini.

"Sepanjang periode itu, investasi Indonesia hanya mampu tumbuh pada angka 4,21% setelah kuartal sebelumnya mampu tumbuh hingga 5.01%," sambung ya.

2. Ekonomi Rentan Serbuan 'Hot Money'

Indef mencatat bahwa stabilitas Rupiah yang belakangan terjadi sebab kerap bertumpu pada derasnya aliran dana-dana jangka pendek (hot money).

Hot money deras mengalir ke Indonesia karena tingkat bunga RI masih lebih menggiurkan bagi investor dibanding negara-negara lain.

Akan tetapi, menurut Indef derasnya aliran modal ini justru perlu diwaspadai. Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap potensi pembalikan modal ke luar negeri tetap diperlukan guna mengantisipasi dampak negatif dari hot money tersebut.

3. Penyaluran Kredit Masih Lambat

Dalam Catatan Akhir Tahun Indef, LDR sejak 2018 meningkat hingga 94,3% pada Kuartal III-2019 yang disebabkan karena pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang stagnan.

Sedangkan, pertumbuhan kredit terus meningkat signifikan selama dua tahun terakhir.

Perlambatan DPK juga terjadi karena adanya perebutan dana (crowding out effect) antara obligasi pemerintah dengan dana masyarakat.

4. Pertumbuhan Kredit 2020 Tetap Loyo

Indef memprediksi pertumbuhan kredit RI sepanjang 2020 mendatang bakal tetap loyo.

Menurut Indef, laju kredit domestik tahun depan akan tetap berada di level single digit atau tak akan sampai 10%.

5. Bank Eksisting Kebanyakan

Lembaga penelitian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut jumlah bank eksisting di Indonesia terlampau banyak.

Untuk ukuran Indonesia, menurut Indef, idealnya hanya terdapat 50-70 bank eksisting. Akan tetapi, saat ini
jumlah bank eksisting di Indonesia sudah lebih dari 100 bank.

Untuk itu, mencegah hal tersebut terjadi, Indef menilai pentingnya dilakukan percepatan konsolidasi perbankan yang ada.

6. Fintech Tak Bertahan Lama

Indef memprakirakan eksistensi fintech di masyarakat tidak akan bertahan lama apabila tidak memiliki ekosistem yang mendukung.

Untuk membentuk ekosistem yang mendukung, Indef menilai perusahaan fintech harus berkolaborasi dan bukan malah bersaing dengan sektor perbankan. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan eksistensi fintech di tengah masyarakat.


7. Penerimaan Meleset

Penerimaan pajak juga jadi masalah yang disorot oleh Indef, jumlahnya mengalami penurunan sejak 2018. Sampai saat ini saja baru 73,47% penerimaannya dari target yang diharapkan.

Pemerintah diminta untuk melakukan stimulus untuk menggerakkan perekonomian, ditambah lagi dengan melambatnya kondisi perekonomian secara global.

8. Bunga Utang Bengkak

Indef juga menyoroti bunga utang pemerintah, dari data yang disampaikan bunga utang membengkak dari 16,41% menjadi 16,88% di tahun 2019.

Hal ini membuat ruang gerak pemerintah untuk mengotak-atik anggaran makin sempit.

Selanjutnya, belanja bantuan sosial dinilai terlalu besar jumlahnya bahkan sampai melebihi target di APBN 2019. Padahal, tingkat kemiskinan dan pengangguran sudah turun.

9. Dana Desa Tak Banyak Kurangi Angka Kemiskinan

Indef menilai hingga kini dana desa belum optimal. Bahkan penurunan pertumbuhan jumlah masyarakat miskin cuma mencapai 2,7% per tahun dengan adanya program ini.

Dari data Indef perbandingan penurunan pertumbuhan masyarakat desa lebih banyak jumlahnya saat dana desa belum bergulir.

10. Kartu Pra Kerja Tak Banyak Bantu Kurangi Pengangguran

Indef memprediksi bahwa program Kartu Pra Kerja Presiden Joko Widodo belum tentu akan berhasil membuat para masyarakat mendapatkan pekerjaan.

Menurut lembaga penelitian ini program Kartu Pra Kerja pemerintah yang menargetkan dapat menjaring 2 juta masyarakat tak realistis bila disandingkan dengan sistem informasi Kementerian Ketenagakerjaan, yang mencatat kesempatan kerja yang ada hanya berkisar 180 orang.

Pengusaha dan industri pun dinilai Indef belum dilibatkan. Otomatis meski mendapatkan sertifikat dari program Kartu Pra Kerja belum tentu terserap dunia kerja.(dtk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad