MAHMUD SYALTUT DAN NIKAH MUTAH SYIAH (1 DARI 3) - Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Situs Islam Rujukan

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Senin, 29 Agustus 2022

MAHMUD SYALTUT DAN NIKAH MUTAH SYIAH (1 DARI 3)

Nikah Mut’ah Menurut Mahmud Syaltut

Mahmud Syaltut adalah salah satu ulama besar yang pernah berjaya pada pertengahan abad ke-19, bahkan buah pikiranya yang terukir dalam beberapa karya tulis telah banyak memberi perubahan pada perkembangan disiplin ilmu keislaman. Syaltut lahir di sebuah wilayah perkampungan Minyat bani Mansur, distrik Ittay al-Barut wilayah provinsi daerah Buhaira Mesir pada tanggal 23 April 1893 M (1). Syaltut berhasil menyelesaikan studinya di Universitas al-Azhar pada tahun 1918 M dengan meraih predikat al-Syahādah al-‘Ăliyyah al-Nizāmiyyah, suatu penghargaan tertinggi dari al-Azhar atas prestasi yang dicapainya selama studi.

Selepas itu, Syaltut meniti karir sebagai pengajar di almamaternya, di samping sebagai dai, ia juga aktif sebagai penulis di majalah dan jurnal yang diterbitkan oleh al-Azhar. Syaltut adalah ulama besar, pemikir Islam yang berwawasan pembaharuan, serta ahli Fikih dan Tafsir yang menjadi rektor Universitas al- Azhar pada tanggal 21 Oktober 1958-1963(2) Sebagai seorang pemikir yang berwawasan luas, Mahmud Syaltut selalu berusaha memberantas rigiditas dan kejumudan berpikir. Ia berpendapat bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, di dalam kitab tafsirnya ia menyatakan “likulli mujtahid nasib”(setiap mujtahid akan memperoleh bagian pahala). Syaltut ahli dalam bidang Teologi, Tafsir dan Fikih yang berwawasan luas, mencanangkan taḥarrur al-fikr (kebebasan berfikir). Sebagai seorang ahli Tafsir dan Fikih, Syaltut memiliki metode dan pendekatan yang diterapkan dalam memberikan penafsiran terhadap Alquran, dan pada dataran Fikih memiliki metode istinbāṭ hokum melalui teknik-teknik ijtihad tertentu. Menurut Syaltut sumber hukum bagi seorang yang melakukan ijtihad adalah Alquran, Sunah, dan akal (ra’yu).(3)

Menurut Syaltut, perbedaan pendapat merupakan sesuatu hal yang wajar asal tidak sampai terjerumus ke arah ta’aṣṣub mazab yang oleh Syaltut sendiri sangat ditentang (4). Hukum nikah Mut’ah atau kawin kontrak saat ini berlangsung kepada kaum Syi’ah dan Sunni. Mahmud Syaltut dalam kitabnya al-Fatāwā menerangkan bahwa, nikah Mut’ah adalah kesepakatan antara laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai pasangan untuk melakukan nikah dengan masa tertentu atau tanpa masa dengan imbalan harta yang ditentukan.

Perkawinan ini bertujuan tidak lain kecuali hanya memenuhi kebutuhan nafsu. Tidak diragukan lagi, bahwa perkawinan ini tidak disyariatkan dalam Islam dan tidak ada tuntunan di Alquran(5)  Yang menyebutkan bahwa dasar pokok pernikahan adalah membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa raḥmah dan bisa saling melengkapi antara kedua pasangan sampai pada tujuan terbentuknya keluarga, anak-anak, dan keturunan yang saling membantu, sedangkan kawin kontrak jauh dari pokok dan tujuan pernikahan Dalam Alquran terdapat penghubungan antara pernikahan dengan beberapa hukum, seperti warisan, nasab, nafkah, talak, ‘iddah, sumpah Ila’, sumpah Ďihār, sumpah Li’ān dan dilarangnya pernikahan kelima. Tidak ada satupun dari hukum tersebut bisa terlaksana dalam hukum nikah Mut’ah. Menguatkan hal demikian, ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum nikah Mut’ah sudah sangat dijelaskan dalam QS. 02: 227, QS. 02: 230, QS. 02: 228, QS. 04: 22 dan QS. 04: 12.
Ayat-ayat tersebut jauh dari apa yang kaum Syi’ah umumkan bahwa nikah Mut’ah itu disyariatkan untuk tujuan nafsu mereka yang tidak diketahui dalilnya. Betul bahwa Nabi Saw memperbolehkan Mut’ah bagi orang-orang yang berperang, dan sesungguhnya Rasul kemudian melarangnya dengan larangan yang umum dan mengharamkanya dengan pengharaman yang terus-menerus.

Imam Muslim telah mengumpulkan dalil-dalil dalam sahihnya. Menurut Syaltut, nikah Mut’ah adalah suatu perbuatan menikah dengan tujuan untuk menuruti hawa nafsu. Nikah Mut’ah tidak dapat dikatakan sebagai pernikahan. Tidak ada hukum yang mengizinkan seorang wanita untuk mengawini lebih dari satu orang pria dalam waktu bersamaan, dan seorang pria untuk melaksanakan pernikahan dengan beberapa wanita setiap hari dengan tidak ada hak-hak dan kewajiban seperti yang ada pada asas pernikahan jauh dari syariah yang diperintahkan oleh Allah SWT, yang mempersiapkan untuk kemurnian dan menahan diri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kritik Mahmud Syaltut terhadap Kehalalan Nikah Mut’ah

Diantara sumber perbedaan penting diantara Syi’ah Imāmiyyah dan Sunni terletak pada persoalan fikih atau yurisprudensi syariat, yang secara spesifik jelas terlihat pada permasalahan “nikah Mut’ah”, yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan selama waktu tertentu dan dengan mahar tertentu pula, sehingga pada sisi tertentu menjadikan beda dengan pernikahan Dā’im (permanen).

Menurut Syi’ah nikah Mut’ah tidaklah bertentangan dengan tujuan pernikahan, karena pihak pria dan wanita bisa menentukan masa nikah yang panjang hingga keduanya bisa mendapatkan keturunan dan membentuk suatu keluarga dengan waktu yang diinginkan.

Pemikiran kaum Syi’ah tentang nikah Mut’ah ini ditanggapi oleh seorang Rektor Universitas al-Azhar Syaikh Mahmud Syaltut, ia berpendapat bahwa nikah Mut’ah bertentangan dengan tujuan pensyariatan pernikahan, yaitu untuk membentuk keluarga dan keturunan. Nikah Mut’ah tidak mewujudkan tujuan ini dan hanya nikah Dā’im yang mampu merealisasikan. Menurutnya, nikah Mut’ah hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan hawa nafsu.(6)

Mahmud Syaltut menguatkan keharaman nikah Mut’ah dengan menyebutkan dalil-dalil tentang keharamannya, Syaltut menyebutkan bahwa nikah Mut’ah adalah apabila seorang laki-laki dan wanita tak bersuami untuk tinggal bersama, ini hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan berakhir tanpa talak ketika masanya berakhir, atau dengan keduanya berpisah, bila mereka tidak menentukan masanya pada saat akad.

(BERSAMBUNG)



Catatan kaki :

1  Abd. Al-Rahman al-Bayumi, Hayāt al-Imām al-Sayyid Sāhib al-Faḍīllah al-Ustaz al-Syaikh
Mahmūd Syaltūt (Beirut, Dar al-Qalam, 1968), 19.
2 Abd. Salam Arief, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta:LESFI,2003), 201-202.
3  Ibid.,468-469.
4 Ibid.,74.
5 Syaltut, al-Fatawa (Bairut: Dar al-Syuruq,1991),273.
6  Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan Lima Madhahb, 481

Sumber :
KRITIK MAHMUD SYALTUT TERHADAP PRAKTIK NIKAH MUT’AH SYI’AH
Diyan Putri Ayu
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Sunan Giri (INSURI) Ponorogo
Email; diyan_pa@yahoo.co.id
Pada Al-Manhaj; Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam
Vol. 1, No. 1, Januari 2019


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad