Hamzah Bin Ladin, Ikon Jihadis Milenial dan Masa Depan Al-Qaidah - Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Situs Islam Rujukan

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Jumat, 20 September 2019

Hamzah Bin Ladin, Ikon Jihadis Milenial dan Masa Depan Al-Qaidah

Foto : Hamzah bin Ladin
Oleh: Rayadi Basri, analis jihad global

PEJUANG.NET - Seorang anak menuliskan untaian syair untuk ayahnya di negeri yang jauh. Syair itu menyiratkan kesedihan dalam pelarian;

Lingkaran bahaya terlihat

Ke manapun aku menatap,

Apa yang terjadi pada diri kita?

Selalu dikejar bahaya ke mana-mana?

 Kemudian, sang ayah menjawab syair anaknya yang baru berusia 12 tahun, tetapi telah terpisah dengan sang pelindung dan pembimbing keluarga. Ia menulis untaian syair balasan yang tak kalah getir, namun memuat sindiran yang menggugah keperwiraan dan kekuatan jiwa;

Aku hanya dapat melihat

Lorong sempit di depan

Sepuluh tahun telah berselang

Dengan safar tanpa naungan

Inilah kita dalam tragedi panjang

Seberapa jauh bekal yang kurang

Membuat pria sejati dapat bertahan?

 Anak itu adalah Hamzah bin Ladin, dan ayahnya adalah Usamah. Buronan Amerika nomor satu di dunia yang diburu sepuluh tahun sebelum dibantai pasukan elit Navy SEAL. Gugur di rumahnya di Abbotabad, Pakistan, setelah melawan dengan AK-47-nya. Membela diri, kehormatan keluarga dan umat Islam.

Tanggal 14 September lalu, Gedung Putih mengkonfirmasi bahwa Hamzah bin Ladin telah terbunuh dalam operasi yang digelar di kawasan Afghanistan-Pakistan. Kematian Hamzah bin Ladin “tak hanya mencabut kemampuan kepemimpinan penting Al-Qa’ida dan hubungan simbolis dengan ayahnya, namun merusak aktifitas operasional penting dalam kelompok itu,” demikian menurut pernyataan resmi Pemerintah Amerika Serikat.

Meski tidak disebutkan waktunya, pada bulan Juli lalu media Amerika NBC pernah melaporkan informasi dari pejabat intelijen AS bahwa Hamzah bin Ladin telah terbunuh, namun tanpa rincian waktu maupun lokasinya. Mengenai lokasi kematian Hamzah, jurnalis Afghanistan Bilal Sarwary mengklaim bahwa Hamzah kemungkinan besar terbunuh di Provinsi Ghazni, Afghanistan.

The New York Times juga melaporkan bahwa AS berperan dalam operasi tersebut, berlangsung dalam dua tahun terakhir. Namun pada saat itu Gedung Putih tak membenarkan ataupun membantah laporan kedua media itu.

Konfirmasi hari Sabtu itu dirilis tiga hari setelah peringatan 18 tahun serangan 11 September, AS menuduh Usamah bin Ladin sebagai perancangnya, yang menewaskan sekitar 3000 warga AS. Usamah sendiri terbunuh dalam operasi yang digelar pasukan AS di Pakistan bulan Mei 2011 silam.

Pada bulan Februari lalu, pemerintah AS menawarkan hadiah 1 miliar dolar bagi kepala Hamzah. Mereka menyebutnya sebagai “putra mahkota jihad” yang “muncul sebagai seorang pemimpin dalam waralaba Al-Qaidah.”

Hamzah sebelumnya pernah merilis pesan suara dan video menyerukan serangan terhadap AS dan negara-negara pendukungnya, terutama sebagai balasan atas pembunuhan ayahnya.

Pada tahun 2017, AS menambahkan Hamzah dalam daftar buronan terorisnya.

Dokumen yang ditemukan di rumah Usamah di Abbottabad, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa  utara, Pakistan, mengindikasikan bahwa Hamzah bin Ladin sedang disiapkan sebagai penerus kepemimpinan Al-Qaidah. Demikian menurut Departemen Luar Negeri AS.

Ia berada di sisi ayahnya sebelum serangan 11 September dan menghabiskan waktu bersamanya di Pakistan setelah invasi AS ke Afghanistan. Pasukan AS menemukan video pernikahannya dengan putri seorang pejabat senior Al-Qaidah. Diperkirakan ia berusia 30 tahun ketika terbunuh.

Keberadaan Hamzah bin Ladin tak pernah dikonfirmasi bagi publik. Ia dipercaya berada dalam tahanan rumah di Iran, namun laporan-laporan lain menyebutkan ia mungkin tinggal di Afghanistan, Pakistan atau Suriah. Pada bulan Maret lalu, Saudi Arabia mengumumkan pencabutan kewarganegaraan Hamzah, berdasarkan titah kerajaan bulan November 2018.

Bruce Hoffman, pengamat dari Council on Foreign Affair menyatakan kepada AFP bahwa kematian Hamzah tak akan berpengaruh besar kepada Al-Qaidah. Di bawah kepemimpinan Dr Aiman Az Zawahiri, kelompok itu pelan tapi pasti membangun kembali jaringan dari Asia Timur hingga Afrika Barat, mengisi ruang kosong yang ditinggalkan ISIS yang mengalami kemunduran sejak daerah-daerah basisnya dihancurkan koalisi Barat.

“Hamzah adalah tokoh penting karena nasab keluarga dan usianya,” kata Hoffman. Sebagai anak muda, Hamzah menjadi ikon yang menarik bagi sesamanya, generasi milenial yang lahir setelah era 1990-an dan awal 2000-an. Target yang sama juga dibidik oleh ISIS di dalam propagandanya.

Memang Hamzah sejak anak-anak kerap muncul dalam rilis foto dan video Al-Qaidah. Ia muncul dalam video membacakan syair di hadapan ayahnya, berlari dan bermain dengan anak-anak sebayanya memegang senjata.

Setelah menghilang beberapa tahun, Hamzah beberapa kali muncul dalam rilis dengan gaya khas sang ayah. Ia menyampaikan pesan jihad dengan mengutip ayat-ayat Quran, syair perjuangan dan ajakan menyerang kepentingan Amerika dan sekutunya. Gaya ilmiah, puitis sekaligus menyerukan aksi yang kontras dengan rilis ISIS yang diwarnai darah dan pemenggalan kepala.

“Hamzah bukan tipe berdarah-darah dan galak,” kata Elisabeth Kendall, peneliti senior syair jihad dari Pembroke College di Universitas Oxford London. “Pesan-pesannya lebih sastrawi dan berpendidikan.”

Rilis Terbaru

Tiga hari sebelum konfirmasi terbunuhnya Hamzah, tepat pada hari Rabu 11 September 2019, pemimpin Al-Qaidah Dr Ayman Az Zawahiri merilis pesan video yang diperkirakan direkam setelah bulan Maret. Indikasinya ia merujuk pada pengakuan Trump atas Dataran Tinggi Golan sebagai milik sah Israel tanggal 25 maret lalu.

Dalam rilisnya Zawahiri menyerukan pada umat Islam untuk menyerang sasaran AS, Eropa, Israel dan Rusia. SITE Intelligence Group, lembaga yang melacak aktifitas online kelompok-kelompok jihadi, melaporkan bahwa Zawahiri juga mengkritik orang-orang yang “berpaling” dari jihad.

Kritik itu ditujukan pada para mantan jihadis yang berubah pandangan setelah dipenjara dan menyebut serangan 11 September tak bisa diterima karena mengorbankan warga sipil tak bersalah.

“Jika kalian ingin agar jihad difokuskan hanya pada sasaran militer, militer Amerika ada di seluruh dunia, dari timur hingga barat,” katanya. “Negeri-negeri kalian dinodai pangkalan-pangkalan Amerika yang dipenuhi orang kafir dan menyebarkan kemaksiatan.”

Zawahiri tak menyebut-nyebut soal pendirian khilafah. Padahal khilafah adalah salah satu wacana konseptual Al-Qaidah dalam bentuk Master Plan, yang dinisbahkan pada para pemikirnya dan dipublikasikan oleh Fouad Hussein.

Hussein adalah wartawan Yordania yang pernah berkorespondensi dengan para petinggi Al-Qaidah dan pernah dipenjarakan bersama Abu Mush’ab Al-Zarqawi di Yordania. Ia mengemasnya dalam bentuk buku berjudul Abu Mush’ab Zarqawi, Generasi Kedua Al-Qaidah pada tahun 2002.

Dalam rencana kerja jangka panjang itu, agenda pendirian khilafah ditargetkan pada kurun 2016. Hal itu menjadi fase kelima dari tujuh fase yang disiapkan Al-Qaidah dalam agenda jihad globalnya. Sebuah agenda yang dilaksanakan oleh organisasi itu dibantu berbagai cabangnya di berbagai penjuru dunia.

Namun Al-Qaidah tak pernah memproklamasikan pendirian khilafah pada tahun itu. Dua tahun sebelumnya, ISIS malah mendahului dengan deklarasinya sebagai Islamic State alias Daulah Islam yang kemudian dibai’at oleh banyak orang dan kelompok dari berbagai negeri Muslim.

ISIS berawal dari ISI (Daulah Islam Irak) yang awalnya adalah Al-Qaidah Cabang Irak. ISI dideklarasikan bahkan jauh lebih awal, pada tahun 2006.  Fakta ini menimbulkan pertanyaan menggelitik. Bisakah disebut bahwa proklamasi khilafah oleh ISIS tahun 2014 adalah pelaksanaan agenda Al-Qaidah? Ataukah gagasan khilafah memang orisinil dari ISIS dengan pola pikir yang sama sekali berbeda?

Agenda Khilafah

Pertanyaan pertama itu menjadi kajian dalam buku Master Plan 2020 yang ditulis oleh Fahmi Suwaidi. Penulis menganalisis bahwa proklamasi ISI pada tahun 2006 adalah percepatan agenda pendirian khilafah oleh Al-Qaidah.

Analisis ini tak berlebihan, karena pada saat itu ISI didirikan di bawah pengaruh kuat Al-Qaidah Cabang Irak. Hubungan antara kedua tanzhim jihad itu masih erat dan bersifat atasan-bawahan. Maka wajar jika proklamasi ISI dibaca oleh pengamat sebagai pelaksanaan agenda khilafah Al-Qaidah.

Namun ISI belumlah nampak sebagai embrio khilafah sejak ia berdiri. Tekanan militer berat yang dialami oleh daulah itu, dari kekuatan Amerika yang dibantu milisi Syiah Irak dan beberapa kabilah lokal, bahkan membuat ISI kehilangan amir pertamanya, Abu Umar Al-Baghdadi. Pengaruh ISI tak terlalu kuat di Irak, boro-boro untuk memperluas dan membebaskan wilayah lain di sekitarnya.

Wacana ISI sebagai embrio khilafah gagasan Al-Qaidah bahkan hampir dilupakan orang.

Memang ada beberapa pengamat dan media Barat terkesan mem-blow up ide ini. Namun, lebih terlihat sebagai sikap paranoid mereka terhadap semua yang berbau jihad dan Al-Qaidah. Hingga tahun 2013 lalu, apalagi setelah syahidnya Usamah bin Ladin, Al-Qaidah dipandang kehilangan kekuatan untuk mewujudkan gagasan global sekelas khilafah.

Sebuah analisis dari pengamat Barat tentang gerakan internasional itu bahkan menyatakan bahwa “Al-Qaidah sepeninggal Usamah masih mampu menggelar serangan-serangan kecil di beberapa negara, namun tak lagi mampu menggelar operasi skala besar yang signifikan.”

Gagasan itu baru muncul lagi di panggung dunia dua tahun setelah revolusi Timur Tengah, sebuah fenomena yang diprediksikan oleh Master Plan Al-Qaidah sejak tahun 2000-an, melanda Suriah. Revolusi yang berkembang menjadi perang asimetris itu menjadikan Suriah daerah konflik dengan perbatasan yang jebol dari penjagaan rejim Assad. Akibatnya, aliran mujahidin pun bergelombang memasuki jantung Syam itu- salah satunya dari Irak.

Lalu lahirlah ISIS yang menambahkan wilayah operasi ISI dari sekedar Irak menjadi Irak dan Suriah. Gerakan baru ini segera berkembang di Suriah yang memang sangat kondusif bagi kelompok-kelompok jihad dalam revolusi melawan rejim Nushairi Assad. ISIS segera menjadi magnet bagi mujahidin asing yang mengalir ke Suriah.

Yang juga menjadi faktor pendorong percepatan ISIS adalah kebangkitan Sunni di Irak akibat pemberlakuan UU Antiteroris baru produk rejim Nuri Al-Maliki. UU itu dipandang zalim bagi Sunni dan memicu demo meluas yang dilibas dengan keras oleh rejim. Kawasan yang tadinya dikuasai rejim Syiah Maliki pun menjadi persemaian perlawanan Sunni.

Namun, melihat perkembangan terkini yang terjadi di Syam (meliputi Suriah, Palestina, Libanon dan Yordania) dan Irak, membaca Khilafah ISIS sebagai pelaksanaan agenda Master Plan Al-Qaidah tentu tidak lagi relevan. Perselisihan antara ISIS dengan Al-Qaidah mengenai persoalan jihad di Suriah memutuskan hubungan struktural ISIS dengan Al-Qaidah.

Hubungan itu bahkan memburuk menjadi bentrokan berdarah di lapangan. Karakter ISIS yang tak ramah pada kelompok jihadis lain tak menyumbangkan perbaikan. Namun strategi propagandanya yang agresif di internet menarik simpati dan dukungan, bahkan bai’at dari para pendukung ISIS di seluruh dunia.

Beda ISIS dan Al-Qaidah

Reputasi Al-Qaidah sebagai kelompok jihad dunia dianggap memudar dalam dekade terakhir. Kemunculan ISIS yang di-blow up media Barat dan kampanye gencarnya di dunia maya membuat generasi hari ini lebih mengenal kelompok kedua. Apalagi ISIS terang-terangan mengklaim pendirian khilafah Islam dan mendaulat amirnya sendiri sebagai khalifah.

Namun demikian, cabang-cabang dan kelompok terkait Al-Qaidah tetap eksis di Afghanistan, Yaman, Suriah dan negeri-negeri lain di dunia.

Ada persamaan dan perbedaan dalam strategi dan taktik yang nampak dari Al-Qaidah dan ISIS. Persamaannya dalam sisi menjadikan Syam, terutama Suriah, sebagai jantung embrio khilafah. Hal ini nampak dalam “Strategi Dua Lengan” yang ditulis oleh Abdullah bin Muhammad untuk Usamah bin Ladin sebagai saran strategi jihad global.

Adapun perbedaannya ada pada pendekatannya. Al-Qaidah mengintrodusir gagasan “merebut hati dan pikiran umat.” Dalam rilis-rilis terbarunya, gerakan yang kini dipimpin oleh Dr. Ayman Az-Zawahiri ini lebih memilih meraih simpati dan menghindari operasi militer yang sulit dipahami dan menimbulkan umat.

Al-Qaidah bahkan membuka ide tentang diversifikasi gerakan jihad dalam nama-nama berbeda yang lebih bisa diterima oleh kaum Muslimin. Pendek kata, desentralisasi gerakan di seluruh dunia. Meraih simpati umat agar mendukung jihad dan meraih kemenangan agaknya menjadi falsafah Al-Qaidah.

Dengan agenda itu nampak bahwa Al-Qaidah lebih realistis dalam pelaksanaan program jihadnya. Mereka tak memaksakan sesuatu yang belum mampu mereka pertahankan, berupa kepemimpinan berbentuk khilafah internasional.

Sebaliknya, ISIS menempuh langkah yang bertolak belakang. ISIS tak menutupi kehendaknya agar kelompok-kelompok jihad lain tunduk di bawah pengaruhnya. Agenda ini bahkan dipaksakan di Suriah sehingga memicu konflik dengan beberapa katibah jihad, termasuk Jabhah Nushrah yang berafiliasi pada Al-Qaidah.

ISIS seolah tak peduli pada hati dan pikiran umat. Mereka fokus pada penggelaran operasi militer yang secara taktikal meraih sukses di beberapa kawasan Irak. Namun sikap berlebihan, kadang brutal, membuat wajah ISIS tercoreng sebagai kekuatan jihad Islami. Hal yang dimanfaatkan betul oleh Barat hari ini dalam kampanye anti-ISIS yang juga merambah sampai ke Indonesia.

Ekspansi Pakistan

Sementara itu pada September 2016, tersiarnya kabar perpisahan Jabhah Nushrah (JN) dari Al-Qaidah memunculkan pertanyaan. Bagaimana perkembangan gerakan jihad yang pernah memukul Amerika tepat di kepalanya hingga kelimpungan itu?

Sebagian pengamat Barat menganalisis bahwa lepasnya JN dari kendali Al-Qaidah menunjukkan jamaah itu melemah. Sementara menurut sebagian lainnya itu hanyalah strategi defensif dari gempuran Amerika dan Rusia di Suriah. Muaranya sama, Al-Qaidah dianggap tak sekuat dulu dalam visi jihad global.

Namun, untuk memahami Al-Qaidah hari ini perlu mengikuti perjalanannya sejak era 9/11 hingga sekarang. Salah satu kepingan catatan perjalanan Al-Qaidah yang kurang terekspos di Indonesia adalah sepak terjangnya di Pakistan setelah invasi Amerika ke Afghan tahun 2001.

Sejak kegagalannya menyapu bersih Al-Qaidah dan Taliban di Afghanistan, Amerika Serikat memperluas front Afghanistan melampaui batas wilayahnya. Karena mujahidin dari kedua kelompok itu mengundurkan diri dan melancarkan operasi dari wilayah Pakistan, Amerika pun menggabungkan front menjadi Afghanistan –Pakistan atau biasa disingkat menjadi Afpak.

Seperti diketahui, ketika Inggris menjajah India dan gagal menjajah Afghanistan, kedua negeri dipisahkan perbatasan yang dijuluki Durand Line. Nama garis itu mengacu pada nama pejabat Inggris yang menciptakannya, Mortimer Durand.

Durand Line membuat suku terbesar di kawasan tersebut, Pashtun, terbelah. Sebagian menempati Afghanistan, sementara sisanya menjadi warga India. Setelah Pakistan memisahkan diri dari India, maka Pashtun menjadi suku yang menempati dua negara Muslim yang berbeda.

Kesamaan suku, agama, bahasa dan adat membuat Pashtun Afghan dan Pashtun Pakistan selalu terkait. Termasuk dalam jihad mengusir  Uni Soviet dari Afghanistan. Ratusan ribu Muslim Pashtun asal Pakistan mengalir ke negeri tetangganya untuk turut berjihad.

Ketika Soviet terusir dan terjadi perang saudara di antara faksi-faksi Mujahidin, muncullah kelompok baru bernama Taliban. Mereka adalah para santri Pashtun yang belajar di madrasah-madrasah Islam di Pakistan. Kelompok ini berhasil memenangkan perebutan pengaruh dan mendirikan Imarah Islam Afghanistan.

Kelak, setelah Invasi Amerika, Taliban menarik diri dari ibukota Kabul ke kawasan perbatasan yang didominasi etnis Pashtun. Maka Taliban tak hanya bermain di Afghanistan, melainkan juga Pakistan.

Muncullah Taliban Pakistan yang pasukannya direkrut dari penduduk Pakistan beretnis Pashtun. Mereka menjadi kekuatan pelindung Taliban dan Al-Qaidah di perbatasan sekaligus pengganggu kepentingan Amerika di wilayah Pakistan.

Maka konvoi perbekalan Amerika dan koalisinya kerap diserang di kawasan Pakistan. Suplai untuk militer pendudukan memang banyak dikirimkan via laut ke Pelabuhan Karachi di Pakistan. Untuk menghadapi itu, Amerika menggunakan jasa militer Pakistan.

Pasukan Pakistan juga membantu Amerika memburu Taliban dengan menjadi penyekat perbatasan. Ratusan ribu serdadu Pakistan, yang notabene Muslim dan dipompa spiritnya dengan doktrin jihad, justru menjadi predator bagi mujahidin.

Yang menarik, menurut analisis Saleem Shahzad, wartawan Pakistan yang terbunuh setelah menerbitkan buku “Inside Al-Qaeda anda Taliban, Beyond Bin Ladin and 9/11” ,Taliban Pakistan lebih dipengaruhi oleh Al-Qaidah daripada Taliban.

Merekrut Musuh

Taliban Pakistan lebih agresif daripada induknya di Afghanistan. Sikap itu diperparah oleh tunduknya pemerintahan Pakistan kepada Amerika. Memanfaatkan para anteknya di pemerintahan dan militer Pakistan, Amerika berhasil menyewa pasukan negeri itu untuk melibas Taliban. Hal ini menimbulkan kegelisahan di kalangan para perwira Islamis yang dikader sejak masa kepemimpinan Jendral Zia ul Haq.

Para perwira itu banyak terlibat dalam operasi bantuan militer Pakistan untuk mujahidin Afghan dan Kashmir. Seperti diketahui, Pakistan pada era Zia memang mendukung upaya Muslim Kashmir memisahkan diri dari kekuasaan India. Berbagai pelatihan dan bantuan teknis disalurkan kepada mujahidin.

Ketika pemerintah Pakistan di bawah Jenderal Pervez Musharraf berbalik memerangi mujahidin demi ridha Washington dan kucuran dolar, mereka pun berbalik. Beberapa perwira, berpangkat kapten hingga mayor, bergabung dengan mujahidin. Yang paling menonjol adalah Mayor Haroon Ashik.

Pada tahun 2008, sebuah plot dahsyat digelar oleh kelompok perwira militan ini untuk mengalihkan pengerahan pasukan Pakistan secara besar-besaran memerangi Taliban. Hubungan dengan mujahidin Kashmir dimanfaatkan untuk mengubah konsentrasi militer.

Maka digelarlah serangan ke Mumbai yang diawaki oleh para mujahidin Kashmir namun diotaki dan difasilitasi oleh para perwira militan tadi. Serangan tadi dirancang berdasar rencana operasi yang disiapkan oleh militer Pakistan untuk menyerang India.

Pihak India yang mencium bau keterlibatan militer Pakistan dalam serangan itupun murka. Hampir saja terjadi perang antara kedua negara yang berseteru sejak dahulu itu. Namun Amerika buru-buru memberikan data intelijen, bahwa pelakunya bukan militer Pakistan, kepada India. Bentrokan besar di antara kedua negara pun tercegah.

Andai India menggempur Pakistan, pasti militer Pakistan akan dikerahkan besar-besaran untuk menghadang laju pasukan tetangganya. Maka pasukan Pakistan yang sedang dikerahkan menggempur Taliban akan ditarik dari posisi awalnya.

Itulah yang menjadi target operasi Mumbai. Mengalihkan konsentrasi militer Pakistan dari menyerang Taliban dan mengadu mereka dengan kekuatan India. Perang besar bisa terjadi, dan karena dua negara mengembangkan nuklir, dampaknya sangat dahsyat untuk kawasan.

Kasus Mumbai ini menunjukkan perkembangan strategi jihad kawasan yang diarsiteki oleh Al-Qaidah. Posisi dikejar-kejar oleh pasukan koalisi Barat ternyata tak membuat mereka berhenti mengembangkan jihad strategis.

Perluasan front dari Afghan menjadi Afpak, bahkan ada upaya meluaskan jihad hingga ke India, menunjukkan Al-Qaidah masih memiliki visi jihad strategis yang canggih. Bahkan ketika mereka dalam pelarian dan terkepung.

Al-Qaidah bahkan merekrut perwira Pakistan yang notabene musuh dan menjadikannya peluncur dalam papan catur konflik Asia Selatan. Sebuah kemampuan yang langka buat kebanyakan manusia dan jamaah.

Kashmir, Pakistan dan Taliban

Musuh bebuyutan Pakistan adalah India. Sementara Perdana Menteri India yang baru, Narendra Modi, adalah seorang Hindu garis keras yang memusuhi Pakistan. Ia juga berkonfrontasi dengan 200 juta Muslim India yang merupakan 14 persen dari seluruh penduduk negeri.

Modi baru saja mencabut Pasal 370 Konstitusi India yang melarang orang non-Kashmir membeli tanah di negara bagian itu. Pencabutan pasal itu bermakna orang non-Kashmir bisa menguasai lahan di sana.

Penghapusan status daerah istimewa Kashmir sesuai Pasal 370 akan berpengaruh besar bagi situasi di Pakistan. Gesekan dengan India semakin memanas, Pakistan harus menjadikan ancaman perang dengan India sebagai prioritas utama.

Hal ini berpengaruh positif bagi Taliban dan Al-Qaidah. Karena menghadapi India di Kashmir, Pakistan terpaksa harus memindahkan ratusan ribu pasukannya dari perbatasan Afghan.  Padahal pasukan itu disewa oleh Amerika untuk membendung pergerakan kedua entitas jihadi di perbatasan.

Pemindahan terpaksa pasukan Pakistan itu akan membuat Taliban leluasa beroperasi di dua negara. Satu hal yang menjadi mimpi buruk Amerika dan bonekanya di Pakistan. Bersama Taliban, tentu Al-Qaidah akan meraih keuntungan strategis di kawasan. Sebuah pijakan untuk kembali melancarkan serangan pada kepentingan-kepentingan AS dan Barat di penjuru dunia.

Bagaimana pengaruh kematian Hamzah bin Ladin yang dipandang sebagai pengganti kepemimpinan sang ayah dalam Al-Qaidah? Mengutip Bruce Hoffman, “Jika Al-Qaidah bisa bertahan selepas kematian sang ayah,” kata Hoffman, “Saya yakin mereka bisa tetap bertahan dan mengelola dengan baik (organisasinya) setelah kematian Hamzah bin Ladin.”

Publis by : Pejuang.Net 
Ikuti kami di channel Telegram : t.me/pejuangofficial
Flow Twitter Kami: @PejuangNet 
Sumber : kiblat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad