Kisah Nyata, Negeri di Atas Awan - Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Situs Islam Rujukan

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Kamis, 19 September 2019

Kisah Nyata, Negeri di Atas Awan


Oleh Soemantri Hassan (Pemerhati Kebijakan Publik)

Dua hari tanpa jaringan internet di lokasi wisata teranyar Negeri Di Atas Awan Gunung Luhur Citorek Lebak Banten. Walaupun ada di Bayah timbul tenggelam. 

Baru menjelang alun alun Rangkas Bitung stabil jaringan internet.Di jalan Bayah sepanjang jalan terhampar emas hitam, batu bara.

Kita saksikan semangat warga sekitar Bayah Lebak Banten di tengah terik menyengat tetap mengisi truk truck batu bara. Dan saya mengelus dada, karena saya tak akan mampu.

Lewat tulisan ini saya ingin berbagi perjalanan menuju negeri di atas awan. Karena semangat saja tidak cukup kita bangkit.

Kaitannya dengan semangat warga Bayah penambang batu bara itu seperti dilukiskan pengalaman Dahlan Iskan mengelus dada ia sebagai Meneng BUMN kala itu. Di bawah ini kisah abah Dahlan senyatanya.Kisah yang ia tulis tahun 2015 menarik diulas kembali.

Ketika pemerintahan SBY  melarang ekspor ore (tanah yang mengandung bijih nikel) tahun lalu, bayangan kita sangat indah. Warga Bayah bisa makmur mungkin jadinya.

Semangat rezim, larang ekspor bahan baku. Harus kita olah sendiri. Maka akan  dibangun pabrik-pabrik khusus peleburan (smelter) nikel di dalam negeri. Lalu kita bisa segera ekspor bahan setengah jadi. Kelihatannya ideal dan beres.

Dan memang sudah mulai banyak pengusaha yang membangun smelter. Tapi, pabrik yang dibangun itu jenis yang memerlukan bahan bakar coking coal. Batu bara jenis khusus dengan kalori di atas 7.000. Batu bara itu pun harus memiliki kandungan yang sangat khusus: sulfurnya maupun ash-nya.

Ternyata kita tidak punya jenis batu bara ini. Indonesia memang penghasil utama batu bara dunia, tapi tidak memiliki tambang coking coal. Saya dengar ada sedikit di Kalteng, namun belum ekonomis ditambang.

Walhasil, kalau semua smelter nikel itu nanti mulai berproduksi, kita harus impor batu bara jenis coking coal dalam jumlah besar. Dari Tiongkok atau dari Australia. Sekali lagi kita terbelit dolar. Mau ekspor untuk mendapat dolar, namun harus impor yang memakan dolar.

Padahal, biaya bahan bakar tersebut mencapai sedikitnya 40 persen dalam struktur biaya smelter nikel. Dari komposisi seperti itu terlihat bahwa pada dasarnya bahan baku smelter ternyata bukan ore. Melainkan coking coal. Ini yang kurang kita pikirkan. Dan kini menggelisahkan.

Kembali kepada warga Bayah yang polos dan penuh semangat. Semangat mereka tidak diimbangin oleh kekuatan olah pikir pengambil kebijakan bagaimana memakmurkan negeri kaya sunber daya alam ini. 

Nyata bahwa kesejahteraan suatu kota kaitannya erat dengan kebutuhan adanya internet. Mimpi warga Bayah dan banyak penghasil batu bara bisa menentukan harga komoditas batu bara dunia di New York Stock Exchange. 

Infrastruktur politiknya ada sejak tahun 2006. infrastruktur politik itu adalah sistem resi gudang (SRG). Namun mati angin komoditas kita baik energi dan pangan hanya modal semangat tak punya keberanian olah pikir.

Masih jauh dari harapan. Tak jauh dari Bayah Lebak Banten tempat saya istirahat menegelus dada ada tujuan wisata Negeri Di Atas Awan. Kurang lebih jaraknya dua puluh kiloan tapi mereka tak kuasa mengajak anak istrinya menyaksikan negeri di atas awan. Bagi mereka tetap mitos.[tsc]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad