4 Tokoh Dayak di Lingkaran Kekuasaan, Mulai Intelijen hingga Ulama - Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Pejuang.Net - Pusat Berita Islam Indonesia

Situs Islam Rujukan

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Senin, 28 Oktober 2019

4 Tokoh Dayak di Lingkaran Kekuasaan, Mulai Intelijen hingga Ulama


GELORA.CO - Alue Dohong mewakili tokoh Dayak yang masuk kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Kabinet Indonesia Maju 2019-2024.

Dohong sebelumnya pejabat di Badan Restorasi Gambut (BRG). Menurutnya, masyarakat suku Dayak tersebar di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara.

"Saya kira dalam sejarah Indonesia merdeka, baru sekali ini mungkin orang Dayak yang ditawari posisi dalam kabinet," tuturnya.

Meski begitu, jauh sebelum Alue Dohong, sedikitnya ada empat tokoh Dayak yang berada di lingkaran kekuasaan. Dalam hal ini pemerintah.

Berdasarkan data yang dikelola VIVA, Senin, 28 Oktober 2019, berikut profil empat tokoh Dayak ini.

Pangeran Muhammad Noor


Sumber:  https://ift.tt/2NiXm7i

Ia merupakan tokoh yang berasal dari Kalimantan Selatan. Muhammad Noor adalah orang yang menjadi Gubernur Pertama Kalimantan setelah Indonesia merdeka dan dibagi dalam 8 provinsi pertama.

Bukan itu saja. Ia adalah keturunan keluarga kerajaan di Kalimantan Selatan yang merupakan cucu dari cucu Raja Banjar, Sultan Adam Al Watsiq Billah. Pria kelahiran 24 Juni 1901 ini dikenal sebagai pejuang kemerdekaan di Tanah Borneo atau Kalimantan.

Saat perjuangan kemerdekaan, Muhammad Noor adalah tokoh yang mempersatukan pasukan pejuang ke dalam basis perjuangan bernama Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan.

Pasukan ini berada di bawah pimpinan Hasan Basry. Hasan merupakan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Muhammad Noor juga pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) pada 1927 ini turut meloloskan sejumlah proyek besar dalam membangun Indonesia.

Proyek-proyek besar ini di antaranya proyek Waduk Riam Kanan di Kalimantan Selatan dan proyek Waduk Karangkates di Jawa Timur. Kini, Waduk Riam Kanan dinamai dengan nama Waduk Ir. H. Pangeran Muhammad Noor.

Pangeran Muhammad Noor wafat di Jakarta pada 15 Januari 1979 dan dikebumikan di TPU Karet Bivak. Pada 2010, makam Muhammad Noor dan istrinya dipindahkan ke Martapura atas kesepakatan keluarga. Ia dan istrinya dimakamkan kembali di kompleks pemakaman Sultan Adam Martapura dengan upacara militer.

Marsekal Pertama TNI Tjilik Riwut


Sumber: Dok. Ist

Kalau Pangeran Muhammad Noor adalah Gubernur Pertama Kalimantan, Tjilik Riwut merupakan Gubernur Pertama Kalimantan Tengah (1959-1967). Ia dengan bangga selalu menyatakan diri sebagai "orang hutan" karena lahir dan dibesarkan di belantara Kalimantan.

Tjilik juga dikenal sebagai pencinta alam sejati yang sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Ia adalah salah satu putera Dayak dari suku Dayak Ngaju yang menjadi anggota KNIP. Perjalanan dan perjuangannya kemudian melampaui batas-batas kesukuan untuk menjadi salah satu pejuang bangsa.

Tjilik Riwut telah berjasa memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 17 Oktober 1947 oleh pasukan MN 1001, yang ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-AU yang diperingati setiap 17 Oktober.

Kala itu, Pemerintah RI masih di Yogyakarta dan pangkat Tjilik Riwut adalah Mayor TNI. Pangkat terakhir Tjilik Riwut adalah Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU.

Menurut sejarawan Roeslan Abdoelgani, Tjilik Riwut merupakan orang yang pertama kali mengajukan wacana pemindahan Ibu Kota Indonesia dari Jakarta ke Palangkaraya.

Argumentasi Tjilik, kata Roeslan, adalah posisi Palangkaraya tepat berada di titik tengah Indonesia. Lokasinya pun bisa menjaga ibu kota dari ancaman negara lain. Tantangan yang dihadapi pada saat itu, belum tersedia jalur transportasi yang memadai ke kota itu.

Letnan Jenderal TNI Zaini Azhar (ZA) Maulani


Sumber: Dok. Ist

Ia adalah mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), sekarang Badan Intelijen Negara (BIN), di era Pemerintahan Presiden Bachrudin Jusuf (BJ) Habibie.

Pria kelahiran 6 Januari 1939 di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan ini dikenal dekat dengan gerakan-gerakan Islam.

Karena, ia juga pernah menjadi aktifis Pelajar Islam Indonesia (PII). Sangat sedikit orang Dayak yang bisa meraih posisi penting di Indonesia, terutama masa Pemerintahan Presiden Soeharto.

Usai lulus dari Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah pada 1961, Maulani kemudian melanjutkan sekolah di Command and General Staff College, Quetta, Pakistan pada 1971, dan Lemhanas pada 1982.

Karier Maulani lebih banyak dihabiskan di dunia militer. Diawali sebagai Komandan Peleton, Kompi I, Batalyon 145/Sriwijaya. Ia lalu menjadi Panglima Kodam VI Tanjungpura 1988-1991.

Dari Kodam Tanjungpura, Maulani kemudian menjabat Sekretaris Jenderal Departemen Transmigrasi pada 1991-1995. Ia lalu menjadi staf ahli Menristek/BPPT pada 1995-1998. Maulani meninggal dunia di Jakarta pada 5 April 2005 di usia ke-66 tahun.

KH Hasan Basri


Sumber: sangpencerah.id

Tokoh agama atau ulama ini lahir di Muara Teweh, Barito Utara, Kalimantan Tengah, pada 10 Agustus 1920. KH Hasan Basri pernah merasakan 'hidup' di era Pemerintahan Presiden Soekarno dan Soeharto.

Pengagum Buya Hamka ini terlibat di politik lewat Partai Masyumi. Setelah Soekarno tumbang dan digantikan oleh Soeharto, KH Hasan Basri menjadi imam besar Masjid Agung Al-Azhar di Jakarta.

Ia pun menempati posisi terhormat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1984-1990. Salah satu gebrakan yang dilakukan KH Hasan Basri semasa memimpin MUI adalah gagasan pendirian bank syariah.

Banyak umat Islam yang bertanya kepadanya mengenai bunga bank yang oleh sebagian kalangan dianggap haram. Ia pun segera menindaklanjutinya dengan menggelar seminar bertajuk “Bank Tanpa Bunga” di Hotel Safari, Cisarua, pada Agustus 1989.

Acara ini dihadiri oleh para pakar ekonomi, pejabat Bank Indonesia (BI), menteri terkait, serta kaum ulama. Hasil seminar ini dibawa ke Musyawarah Nasional (Munas) MUI yang digelar di Jakarta, pada 22-25 Agustus 1990.

Munas ini sekaligus memilih kembali Hasan Basri untuk terus memimpin MUI, salah satunya agar rencana pendirian bank Islam itu dapat terwujud. Maka, diputuskan bahwa MUI akan memprakarsai bank tanpa bunga atau bank syariah.

Pada 1 November 1991, Bank Muamalat Indonesia (BMI) diresmikan dan menjadi bank syariah pertama di Indonesia. Hasan Basri ditunjuk menjabat sebagai direktur utama.[vv]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad